Terdapat perdebatan tentang apakah orang Mandailing tergolong dalam suku bangsa Batak atau tidak. Sebagian orang berpendapat bahwa orang Mandailing merupakan salah satu puak suku bangsa Batak , tetapi ada pula yang menyatakan Mandailing merupakan suku bangsa terpisah. Pada tahun 1922-1926 terjadi perdebatan di Medan tentang hak orang muslim yang mengaku sebagai Batak untuk dikuburkan di tanah wakaf Mandailing di Sungai Mati, Medan. Mahkamah Syariah Deli memutuskan hanya orang Mandailing yang berhak dikuburkan pada tanah wakaf tersebut. Peristiwa ini dianggap
sebagai salah satu pengukuhan terhadap perbedaan identitas orang Mandailing dan Batak
Daerah
Mandailing-Natal (MADINA)
Pada 1992, Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I Sumatra Utara
memutuskan pemekaran wilayah Daerah Tingkat I Provinsi Sumatra Utara. Dalam
proses itu, Mandailing dan Natal dinaikkan statusnya menjadi Daerah Tingkat
II Kabupaten Mandailing-Natal. Kini Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli
Selatan terdiri daripada:
Daerah Tingkat II Kabupaten Angkola Sipirok
Daerah Tingkat II Kabupaten Padang Lawas
Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing-Natal
Daerah Tingkat II Kotamadya Padang Sidempuan
Prioritas utama pemekaran wilayah itu adalah pembentukan Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing-Natal. Kini Kabupaten Mandailing Natal dikenali sebagai MADINA, persis seperti Madina tempat berdirinya dinul-Islam.
Daerah Tingkat II Kabupaten Angkola Sipirok
Daerah Tingkat II Kabupaten Padang Lawas
Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing-Natal
Daerah Tingkat II Kotamadya Padang Sidempuan
Prioritas utama pemekaran wilayah itu adalah pembentukan Daerah Tingkat II Kabupaten Mandailing-Natal. Kini Kabupaten Mandailing Natal dikenali sebagai MADINA, persis seperti Madina tempat berdirinya dinul-Islam.
Mandailing Dalam Sejarah
Kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar
1365 M, menyebut nama Mandailing. Munculnya nama Mandailing pada suku
akhir abad ke 14 menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama
Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi.
Dengan demikian "tidak disangsikan lagi bahwa bersandar
ungkapan dalam kakawin itu yang dapat diperkirakan sesuai dengan
perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang suatu masyarakat yang
homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatra yang diungkapkan oleh Prapanca
(dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak, Panai, Aru dan lain-lain,
demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh itu, entah luas, besar
ataupun kecil, terphimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan".
Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab
Nagarakretagama di abad ke 14, kemudian beberapa abad berikutnya tak ada
lagi nama Mandailing disebut. Selama lebih lima abad lamanya Mandailing
seakan-akan hilang sejarahnya. Baru pada abad ke 19 ketika Belanda mulai
menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya dan masyarakatnya
dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.
Na Itam
Na Robi
Zaman sebelum masuknya Islam ke Mandailing, orang
Mandailing menyebut zaman itu na itom na robi, artinya, zaman purba yang
hitam atau gelap, yakni jahiliah. Sebelum Islam, masyarakat Mandailing
adalah masyarakat si pele begu, yakni masyarakat yang memuja roh leluhur
mereka.
Sampai sekitar awal abad ke-20, sisa-sisa dari agama kuno
itu masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing. meskipun
agama Islam telah merata menjadi anutan orang Mandailing. Di beberapa tempat
misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh yang disebut pasusur
begu atau marsibaso yang sangat dikutuk oleh ulama.
Amalan si pele begu melibatkan upacara meminta
pertolongan roh leluhur buat mengatasi misalnya bencana alam seperti musim
kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang pernah
menyaksikan upacara itu sulit membantah lantaran turunnya hujan lebat di
tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu dilakukan.
Namun iman orang-orang Mandailing sebagai pemeluk agama
Islam menganggap perbuatan itu, dosa yang mesti dihindari, mendorong
masyarakat Mandailing membuang sama sekali sisa-sisa warisan si pele begu.
Alim ulama masyarakat Mandailing telah menapis/menyaring amalan dan
perubatan dari zaman na itom na robi dan mengekalkan amalan dan perbuatan
yang tidak bertentangan dengan Islam.
Marga-Marga
Mandailing
Orang-orang Mandailing mengelompokkan diri mereka dalam
beberapa marga, sebagai keturunan daripada seorang tokoh nenek moyang.
Masing-masing kelompok marga mempunyai seorang tokoh nenek moyangnya sendiri
yang "berlainan asal". Pendek kata, masyarakat Mandailing merupakan kesatuan
beberapa marga yang berlainan asalnya.
Silsilah keturunan itu dinamakan tarombo dan sampai
sekarang masih banyak disimpan oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan
turun-temurun yang dipelihara baik-baik. Melalui tarombo, orang-orang
Mandailing yang semarga mengetahui asal-usul dan jumlah keturunan mereka
sampai ini hari. Melalui jumlah keturunan dapat diperhitungan sudah berapa
lama suatu kelompok marga mendiami wilayah Mandailing.
Marga dapat dirumuskan sebagai "kelompok orang yang dari
keturunan seorang nenek moyang yang sama, dan garis keturunan itu
diperhitungkan melalui bapa atua bersifat patrilineal. Semua anggota marga
memakai nama marga yang dipakai/dibubuhkan sesudah nama sendiri, dan nama
marga itu menandakan bahwa orang yang menggunakannya mempunyai nenek moyang
yang sama. Mungkin tidak dapat diperinci rentetan nama para nenek moyang
yang menghubungkan orang-orang semarga dengan nenek moyang mereka, sekian
generasi yang lalu, namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang
menggunakan nama marga yang sama terjalin hubungan darah, dan salah satu
pertandanya adalah larangan kahwin bagi wanita dan pria yang mempunyai nama
marga yang sama".
Nama marga-marga yang terdapat di Mandailing pada umumnya
tidak muncul serentak. Kebiasaannya nama marga muncul dan mulai dipakai pada
keturunan ketiga setelah nenek moyang bersama. Ini mungkin kerana pada
generasi ketiga keturunan seorang nenek moyang mulai banyak jumlahnya
sehingga mereka mulai memerlukan suatu nama identitas, iaitu nama marga.
Ada yang memperkirakan bahwa di Mandailing terdapat 13
marga. Marga-marga itu ialah:
1. Hasibuan 6. Nasution 10. Matondang
2. Dalimunte 7. Rangkuti 11. Batu Bara
3. Mardia 8. Parinduri 12. Tanjung
4. Pulungan 9. Daulae 13. Lintang
5. Lubis
1. Hasibuan 6. Nasution 10. Matondang
2. Dalimunte 7. Rangkuti 11. Batu Bara
3. Mardia 8. Parinduri 12. Tanjung
4. Pulungan 9. Daulae 13. Lintang
5. Lubis
Lumrahnya setiap marga mempunyai nenek moyang yang sama.
Tetapi ada juga sejumlah marga yang berlainan nama tetapi mempunyai nenek
moyang yang sama. Misalnya, marga Rangkuti dan Parinduri; Pulungan, Lubis
dan Harahap; Daulae Matondang serta Batu Bara. Melalui tarombo atau silsilah
keturunan dapat diketahui nenek moyang bersama sesuatu marga. Dan dari
jumlah generasi yang tertera dalam tarombo dapat pula diperhitungkan berapa
usia suatu marga atau sudah berapa lama suatu marga tinggal di Mandailing.
Dari banyak marga tersebut, terdapat dua marga besar yang
berkuasa, yang masing-masing menduduki sebuah wilayah luas yang bulat. Marga
itu adalah Nasution di Mandailing Godang dan Lubis di Mandailing Julu.
Kepimpinan Dalam
Masyarakat Mandailing
Bila Belanda mula memasuki Mandailing pada abad ke 19,
marga yang berkuasa dalam masyarakat Mandailing ialah marga Lubis dan
Nasution. Golongan ini berkuasa dalam masyarakat Mandailing sampai akhir
penjajahan Belanda.
Marga-marga lain berkedudukan sebagai penduduk biasa yang
secara berkelompok dipimpin oleh ketuanya masing-masing yang disebut kepala
ripe. Kepala-kepala ripe ini berada di bawah raja-raja bermarga Lubis dan
Nasution.
Namun ada kemungkinan bahwa sebelum kedua marga tersebut
memegang kekuasaan di Mandailing, marga-marga lain pernah menerajui tampuk
kepimpinan dalam lingkungan-lingkungan tertentu di Mandailing. Kemungkinan
ini ada saja seperti yang ditemui dalam legenda Si Baroar, raja yang paling
berkuasa di Mandailing ialah Sutan Pulungan, raja orang Huta Bargot di
seberang sungai Batang Gadis.
Cerita lain mengisahkan mengenai seorang tokoh yang
bernama Sutan Mardia kahwin dengan seorang gadis dari marga Borotan yang
mendiami satu tempat bernama Banjar Sibaguri dekat Panyabungan sekarang.
Kemudian Sutan Mardia menjadi raja di satu lingkungan yang bernama Padang
Mardia. Maka diduga bahwa marga Mardia pernah berkuasa di lingkungan
tersebut.
Bagaimana marga Lubis dan Nasution berkuasa di seluruh
wilayah Mandailing tidak diketahui dengan jelas. Ada dugaan bahwa oleh
kerana jumlah warga kedua-dua marga tersebut lebih besar daripada jumlah
warga marga-marga lain, maka marga Lubis dan Nasution menguasai lebih banyak
tempat di Mandailing, yang kemudian mereka kembangkan menjadi
kerajaan-kerajaan kecil di masa lalu. Ada kemungkinan juga kedua-dua marga
tersebut menang perang dan membagikan Mandailing kepada dua jajahan
kekuasaan mereka.
Apa lagi para anggota marga Lubis dan Nasution senantiasa
pula menjalin hubungan perkahwinan secara timbal balik, yang berarti
keduanya secara teratur membangun ikatan kekerabatan yang luas dan kuat
sehingga kedudukan mereka makin lama makin bertambah kokoh berhadapan dengan
marga-marga lain. Hal yang demikian berarti bahwa marga Lubis dan Nasution
mempunyai peluang besar untuk terus lebih memperkuatkan kedudukan mereka di
antara marga lain.
Arsitektur & Lanskap
Fungsi Bagas Godang & Sopo Godang
Bagas Godang (Rumah Raja) senantiasa dibangun berpasangan dengan
sebuah balai sidang adat yang terletak di hadapan atau di
samping Rumah Raja. Balai sidang adat tersebut dinamakan Sopo
Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang. Bangunannya mempergunakan
tiang-tiang besar yang berjumlah ganjil sebagaimana jumlah anak
tangganya. Untuk melambangkan bahwa pemerintahan dalam Huta
adalah pemerintahan yang demokratis, maka Sopo Godang dibangun
tanpa didinding. Dengan cara ini, semua sidang adat dan
pemerintahan dapat dengan langsung dan bebas disaksikan dan
didengar oleh masyarakat Huta. Sopo Godang tersebut dipergunakan
oleh Raja dan tokoh-tokoh Na Mora Na Toras sebagai wakil rakyat
untuk "tempat mengambil keputusan-keputusan penting dan tempat
menerima tamu-tamu terhormat". Sesuai dengan itu, maka bangunan
adat tersebut diagungkan dengan nama Sopo Sio Rancang Magodang
inganan ni partahian paradatan parosu-rosuan ni hula dohot
dongan (Balai Sidang Agung tempat bermusyawarah/mufakat,
melakukan sidang adat dan tempat menjalin keakraban para tokoh
terhormat dan para kerabat). Biasanya di dalam bangunan ini
ditempatkan Gordang Sambilan iaitu alat muzik tradisional
Mandailing yang dahulu dianggap sakral (sacred).
|
Sesuai dengan fungsi Bagas Godang dan Sopo Godang, kedua bangunan adat tersebut melambangkan keagungan masyarakat Huta sebagai suatu masyarakat yang diakui sah kemandirannya dalam menjalankan pemerintahan dan adat dalam masyarkat Mandailing. Kerana itu, kedua bangunan tersebut dimuliakan dalam kehidupan masyarkat. Adat-resam (tradisi) Mandailing menjadikan kedua bangunan adat tersebut sebagai milik masyarkat Huta tanpa mengurangi kemulian Raja dan keluarganya yang berhak penuh menempati Bagas Godang. Oleh kerana itu, pada masa lampau Bagas Godang dan Sopo Godang maupun Alaman Bolak Silangse Utang dengan sengaja tidak berpagar atau bertembok memisahkannya dari rumah-rumah penduduk Huta. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar